KOMPAS/WINDORO ADI |
Rumah ini bukan sekadar museum, tetapi juga rumah edukasi, dan inspirasi melawan candu. Bak mengunjungi rumah hantu, pengunjung dibawa menyusur lorong redup bercahaya merah bata, berlantai merah bata, dengan dinding berelief panjang yang berkisah tentang penderitaan mereka yang terjerat narkoba.
Sebagian tubuh mereka terpahat tinggal rangka. Diujung lorong, dengan cahaya ruang yang masih redup, sampailah pengunjung di lobi. Beberapa dinding segitiga berdiri diterangi cahaya kuning pucat.
Seorang pemandu menjelaskan tentang isi dan seluruh ruang di Rumah Candu. Dari tempat itu, pengunjung berjalan menuju ruang berkubah dengan dinding-dinding yang dilengkapi perangkat multimedia. Tiba-tiba salah satu dinding menyala. Layar tipis menampakkan salah satu kota di Sumeria.
Lewat pengeras suara yang merata ke seluruh ruang berkubah itu, berkisah lah dinding tersebut tentang candu yang dikonsumsi bangsa Sumeria, Yunani, Roma, dan Mesir kuno ribuan tahun yang lalu. Mereka mengonsumsi candu sebagai obat dan sebagai bagian dari upacara spiritual mereka.
Selanjutnya, dari dinding ke dinding, dari ruang ke ruang, perangkat multi media, dan peraga lainnya menjelaskan tentang sejarah candu dari Barat hingga ke Timur, perang candu Inggris-China pada pertengahan abad 19, candu di Thailand, candu yang berkembang sebagai obat di abad ke 19 sampai meluasnya penyalahgunaan dan perdagangan gelap narkoba. Banyaknya korban yang berjatuhan kemudian menimbulkan reaksi keras negara-negara melawan sindikat narkoba.
Seperti halnya museum, rumah candu ini memiliki koleksi puluhan alat penghisap candu dari yang paling mewah dan rumit terbuat dari gading, perak, dan emas berukir halus, sampai yang paling tua dan sederhana dari kayu.
Dengan sentuhan jari tangan pada tombol otomatis, munculah tayangan film tentang proses membuat candu, kegiatan perdagangan gelap dan korban-korban narkoba, termasuk perang melawan para sindikat narkoba.
Rumah candu yang dibangun tahun 2005 dengan investasi 10 juta dollar AS dan direnovasi tahun 2006 ini, memberi lebih banyak ruang pada kisah tentang perang candu Inggris-China pada pertengahan abad 19.
Tampilan pada bagian ini pun lebih kaya. Selain manekin-manekin dan tayangan tentang perang candu, di salah satu ruang dibuat tiruan rumah-rumah madat China berlantai dua. Rumah-rumah madat ini berlatar negeri China dan kawasan pecinan yang menyebar di Asia Tenggara, termasuk di Pulau Jawa.
Di lemari kaca terpasang potret-potret lama, sketsa dan lukisan para pemadat di rumah madat. Salah satu potret lama tersebut diambil di Batavia, Jakarta!
Rumah candu yang didanai oleh bantuan keuangan pemerintah Jepang dan Kementerian Pariwisata Thailand ini juga memiliki ruang studi kasus, ruang refleksi, dan ruang inspirasi yang mengajak pengunjung menjawab pertanyaan, "Apa yang bisa aku lakukan untuk ikut menanggulangi bahaya narkoba?"
Perang candu
Tahun 3400 sebelum Masehi, di Mesopotamia para petani telah menanam candu yang dikonsumsi sebagai obat maupun untuk cemilan pelepas lelah atau bersenang-senang. Tahun 1600, candu mulai meluas ke Persia dan India. Para pedagang dari Portugis lalu membawa candu dari India ke China.
Seratus tahun kemudian, para pedagang Belanda mengikuti jejak para pedagang Portugis. Mereka bukan saja membawa candu dan pipa-pipa penghisap candu dari India ke China, tetapi juga ke Asia Tenggara.
Meluasnya dampak negatif candu di China membuat Kaisar Yung Cheng tahun 1729, melarang rakyatnya mengonsumsi candu, kecuali untuk pengobatan. Tetapi hal itu tidak membuat ekspor candu dari India ke China surut. Buktinya, tahun 1767 kongsi dagang British East India Co (BEC) --pesaing kongsi dagang VOC-- mengekspor candu ke China sampai 2000 peti dalam waktu setahun. Satu peti berisi 60 kilogram candu.
Meluasnya candu yang dibawa kongsi dagang Eropa ke Asia Tenggara, terutama Thailand, membuat Raja Thailand, Rama II tahun 1811, melarang rakyatnya mengonsumsi candu. Bahkan pewarisnya, Raja Rama III menetapkan hukuman mati bagi pengedar candu, tetapi bisa dibilang gagal karena kuatnya lilitan pasar candu.
Tahun 1839-1842, pecah Perang Candu. Inggris akhirnya mengalahkan China dalam perang tersebut. China dipaksa tetap membuka jalur perdagangan candu antara lain dengan menyerahkan Hongkong. Inggris lalu memanfaatkan Hongkong sebagai gudang transit candu dari India ke China.
Tahun 1856-1860 pecah Perang Candu Kedua. Inggris dan Perancis bersekutu memaksa China membuka pasar candu selebar-lebarnya. Tak ingin devisa-nya terkuras, China akhirnya juga menanam candu.
Langkah China memaksa Inggris dan Perancis mendekatkan pasar candu di China dengan mengendalikan ladang candu di kawasan Segi Tiga Emas, di perbatasan Thailand-Myanmar-Laos. Tetapi setelah Myanmar mendapat kemerdekaan dari Inggris tahun 1948, monopoli kedua negara Eropa di ladang candu Segi Tiga Emas berakhir.
Yatim piatu
Rumah Candu menjadi "karya penutup" mendiang Somdej Phra Srinagarindra Boromajajajonani, Ibunda Raja Thailand Bhumibol Adulyadej yang meninggal tahun 1995. Ia akrab dipanggil sebagai Sangwan, atau Puteri Sangwan.
Puteri Sangwan mengawali karya besarnya tahun 1988 dengan mengubah ladang candu di Doi Tung yang menjadi bagian dari Kawasan Segi Tiga Emas, menjadi ladang kemajuan dan kemakmuran kaum minoritas miskin. Dengan ketekunan, kerja keras, dan kecintaannya pada kaum miskin, 15 tahun kemudian Doi Tung berubah menjadi kawasan wisata dan agrobisnis yang membanggakan.
Karyanya membuat pendapatan warga berlipat ganda, tingkat kesehatan penduduk naik. Lingkungan alam yang sebelumnya rusak karena ladang candu yang berpindah-pindah dan membuat kawasan perbukitan gundul, menghijau kembali oleh perkebunan kopi, dan kacang macadamia.
Karena kekagumannya, tahun 2000 Unesco memberinya penghargaan sebagai, "Sosok besar dalam pelayanan publik di bidang pendidikan, penerapan ilmu dan kemanusiaan, serta pembangunan sosial dan lingkungan".
Puteri Sangwan lahir tanggal 21 Oktober 1900 dari keluarga pengrajin emas. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil. Ibunya menyusul saat Puteri Sangwan masih berusia sembilan tahun.
Di usia 13, ia belajar di Siriraj Royal Medical College. Tiga tahun kemudian ia lulus menjadi perawat dan bekerja di rumah sakit. Tahun 1917 dia mendapat beasiswa Queen Savang Vadhana dan melanjutkan sekolah perawat di AS.
Meski bahasa Inggris-nya masih sangat minim, ia nekad ke AS dan mulai belajar bahasa Inggris secara intensif di Berkeley, California. Setahun kemudian Puteri Sangwan pindah ke Hartford, Connecticut. Di sanalah ia bertemu Pangeran Mahidol, putera Raja Rama V dari Dinasti Chakri dan Ratu Savang Vadhana.
Cinta pada pandangan pertama itu pun berlanjut sampai mereka menikah di Istana Srapatum, Bangkok, tanggal 10 September 1920. Setelah menikah, mereka tinggal di beberapa negara Eropa sebelum akhirnya tinggal di AS. Di sana, Pangeran Mahidol meraih gelar sarjana kesehatan masyarakat di Institut Teknologi Massachusetts dan Universitas Harvard.
Kala itu, pasangan berbahagia ini sudah beranak tiga. Mereka adalah Puteri Galyani Vadhana, Pangeran Ananda Mahidol atau Raja Rama VIII, dan Pangeran Bhumibol. Kehadiran ketiga anak tidak membuat Puteri Sangwan melanjutkan sekolahnya. Setelah menyelesaikan studi-nya di Harvard, Pangeran Mahidol dan keluarganya kembali ke Thailand. Ia bekerja di Rumah Sakit Mc Cormick, Chiang Mai, Thailand Utara.
Sementara itu Puteri Sangwan dan ketiga anak tinggal sementara di Bangkok. Tanggal 24 September 1929 Pangeran Mahidol meninggal. Rencana Puteri Sangwan dan ketiga anak pindah ke Chiang Mai menyusul Pangeran Mahidol berubah menjadi duka cita. Karena alasan kesehatan anaknya yang kedua, Puteri Sangwan dan ketiga anaknya pindah ke Lausanne, Switzerland tahun 1933.
Tahun 1935, Raja Rama VII turun dari tahta setelah Revolusi Thailand. Pemerintahan demokratik menunjuk Ananda Mahidol sebagai Raja Rama VIII. Ia menjadi raja pertama Thailand yang tunduk pada konstitusi.
Puteri Sangwan pun mendapat gelar ibu suri raja (Her Royal Highness the Princess Mother). Karena telah ditunjuk menjadi raja, Ananda Mahidol harus kembali ke Thailand. Tetapi Puteri Sangwan menolak. Ia khawatir keselamatan puteranya terancam di tengah intrik politik di dalam negeri yang kian meruncing saat itu. Ia dan ketiga anaknya tetap melanjutkan hidup di Switerland sebagai orang biasa.
Tetapi apa yang ia khawatirkan itu pun terjadi. Putera kedua Puteri Sangwan, Ananda Mahidol Si Raja Rama VIII itu tewas dibunuh tahun 1946. Pada usia 18, Bhumibol Adulyadej, anak bungsu Puteri Sangwan terpilih menjadi Raja Rama IX. Bhumibol kembali ke Thailand, tetapi Puteri Sangwan memilih tetap tinggal di Switzerland sampai tahun 1964.
Saat ia kembali ke Thailand, ia bekerja keras mengatasi masalah kesehatan, kemiskinan, dan kebodohan di Negeri Gajah Putih itu. Ia rajin mengunjungi kawasan miskin sampai akhirnya di tahun 1972, dengan uangnya sendiri sebanyak 100.000 baht, Puteri Sangwan mendirikan yayasan pengembangan kerajinan pemukim bukit, Thai Hillcrafts Foundation, yang berkantor di Istana Srapatum.
Tahun 1985, atas desakan lingkungannya, yayasan tersebut berubah nama menjadi Mae Fah Luang Foundation (MFLF). Mae Fah Luang dalam bahasa Thailand artinya, "Ibu suri raja yang datang dari langit". Julukan itu ditujukan pada Puteri Sangwan. Sebab, ia sering mengunjungi daerah terpencil nan miskin sampai lereng bukit dengan helikopter. Ia naik helikopter karena untuk mencapai tempat yang dituju, hanya ada jalan setapak nan terjal.
Pendirian Rumah Candu di Chiang Saen menunjukkan bagaimana Mae Fah Luang memerangi candu dengan cara yang tepat dan bermartabat. Apa yang ia lakukan terhadap mereka yang miskin dan lemah, jauh dari sikap ingin menunjukkan kekuasaan, dan kekerasan. Ibu suri raja yang datang dari langit itu menulis,
"Mereka menanam candu bukan karena mereka jahat, tetapi karena tidak ada peluang lain bagi mereka yang miskin dan lemah. Maka, berilah mereka yang miskin dan lemah itu peluang untuk menjadi kuat dan tidak lagi menanam candu".
Sumber: kompas.com
0 comments:
Post a Comment