Mitaqul Zaitun Nisah: Siswi SMA Negeri I Girimarto |
Inilah cerpen manis dan menarik karya Siswi SMA N I Girimarto bernama Mitaqul Zaitun Nissah. Siswi berprestasi ini baru saja lulus dari SMA N 1 Girimarto dan berhasil masuk di Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang melalui SNMPTN Jalur Undangan tahun ini. Oya langsung saja ini dia cerpennya:
fendysastra.blogspot.com
28 Mei 2005
Angin pagi yang dingin menerobos
masuk, menjejali paru-paruku dengan oksigennya. Kulayangkan pandangan keluar,
menatap jajaran gedung-gedung tinggi pencakar langit. Semalaman duduk di bus
membuat tubuhku pegal dan kaku. Kedua tanganku terasa dingin. Berkali-kali
kueratkan kerah jaketku. Tapi kemudian gerah menderaku. Rasa takut berkecambuk
dalam hatiku. Dapatkah aku bertahan hidup di ibu kota yang kejam ini? Tanpa
teman, tanpa pengalaman, tanpa tujuan jelas? Atau haruskah aku kembali pulang?
Mengubur mimpiku dalam-dalam. Arggggh…, itu tak akan pernah terjadi. Tekadku
sudah bulat. Tak mungkin aku menelan kembali sumpah yang kuucap. Aku tak akan
pulang sebelum aku meraih mimpi.
Bus yang aku tumpangi berhenti, menumpahkan semua
penumpangnya tepat saat azan Subuh berkumandang. Para penumpang berebut turun,
membawa barang mereka masing-masing.
“Pak ini apa sudah sampai Jakarta?”
“Iya, Mbak.”
Tanyaku sebelum aku turun dari bus untuk memastikan
dan mengusir keraguanku. Baru kali ini aku ke Jakarta. Ternyata kota Jakarta
jauh dari yang aku bayangkan. Kini tampak jelas di mataku hingar-bingar kota
Jakarta. Para penumpang turun dengan tujuan yang jelas, namun aku tak tahu
harus kemana. Pandanganku mengitari terminal mencari masjid untuk salat Subuh
dan beristirahat sejenak.
Tak seberapa jauh dariku, berdiri bangunan masjid
yang kokoh. Kulangkahkan kakiku menuju masjid itu dan segera berwudu mensucikan
badan. Kulihat bayangan diriku dalam kaca, mataku terlihat sembab. Entah karena
tangis semalam atau mungkin karena kantuk. Gemetar tubuhku saat kubasuh kedua
tanganku. Kupercepat wuduku, buru-buru kukenakan mukena untuk membantu
menghangatkan tubuh.
“Khusuk hamba menghadap-Mu Ya Allah.” Perlahan-lahan
air mataku mengalir membasahi pipi. “Hamba berserah diri pada-Mu Ya Allah,
tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan-Mu. Ya Allah hamba
berlindung dari tersesat, dari kebingungan, dari dianiaya dan kebohongan. Ya
Allah tuntunlah hamba agar selalu berjalan di jalan-Mu. Ya Allah kuatkanlah hamba
dalam menghadapi kehidupan yang kejam ini.” Tangisku terhenti setelah sujud
terakhir.
Fajar melingkar di awan-awan tipis. Sebentar lagi
matahari melakukan estafet dari raja malam yang sudah menunaikan tugas. Tubuhku
terasa lemas, perut melilit-lilit. Ehm… pantas saja sedari kemarin tak sesuap
nasipun mengisi perutku. Sebungkus roti dan teh hangat cukup untuk memulihkan
tenagaku.
Di Jakarta yang luas ini hendak kemana aku? Tak ada
satu tempatpun untuk dituju. Aku ke Jakarta semata-mata hanya nekat. Hanya satu
tujuan yang pasti yaitu aku ingin memulai hidup baru dan meraih mimpi.
Aku harus menentukan langkah yang jelas. Aku harus
segera menemukan tempat tinggal secepatnya agar aku dapat segera beristirahat.
Rumah kos-kosan kecil dan sederhana tak apa-apa. Uangku tak mungkin cukup untuk
menyewa rumah yang lebih layak. Setelah itu aku harus mendapatkan pekerjaan
guna menyambung hidup. Aku sudah setengah jalan. Aku terlanjur nekat maka aku
harus nekat.
Tak semudah yang kubayangkan. Setengah hari
mengelilingi kota Jakarta mencari tempat tinggal, namun tak kunjung kudapatkan.
Aku takkan menyerah. Aku tak mau terlantar dan tinggal di kolong jembatan.
Lelah mencari akhirnya aku menemukan rumah susun
yang tak terlalu besar dan cukup layak untuk ditinggali. Tak apa, asal ada
jendela sebagai pertukaran udara dan setidaknya aku bisa melihat kerlip bintang
dari balik jendela di malam hari.
15
Desember 2001
Malam itu aku gelisah, tidurpun tak
tenang. Mamakku yang baik menemaniku, membelai rambutku, dan mendekapku penuh
kehangatan.
“Mak saya pengen tanya sesuatu.”
“Kenapa Mamak memberiku nama Casava ? kenapa bukan Kartini, bukan Dewi Sartika,
atau Clarissa? Mak, aku pengen seperti Kartini memperjuangkan hak-hak
perempuan, atau Dewi Sartika yang berjuang dengan gigih mengusir penjajah, dan
kenapa bukan Clarissa Mak? Aku pengen seperti Dokter Clarissa, menolong semua
orang tanpa memandang siapa mereka. Dokter Clarissa juga senang dan peduli
dengan anak-anak.”
Mamak tersenyum tipis dan menjawab
pertanyaanku. “Nduk, Mamak memberimu nama Casava Textona dengan banyak
pertimbangan. Kamu tahu Casava dalam bahasa jawa berarti pohong, dari dulu rakyat Wonogiri mengonsumsi pohong dalam bentuk nasi tiwul sebagai makanan pokok. Itu artinya
di setiap aliran darah Mamak mengalir beribu-ribu sari pati pohong.”
Mamak menghela napas sejenak dan
melanjutkan ceritanya. “Itu Casava Nduk, sedangkan Textona adalah zat yang
terkandung di dalam kayu jati. Karena zat itu kayu jati menjadi kuat, ulet, dan
anti rayap. Mamak berharap kamu menjadi anak yang kuat, tekun, dan ulet dalam
meraih cita-cita dan jangan mudah menyerah pada keadaan. Bersyukurlah karena
nama Casava Textona itu adalah doa tulus dari Mamak untukmu.”
“Mak jika aku lulus SMA nanti,
dapatkah aku menjadi dokter seperti Bu Clarissa? Dan bersekolah di Fakultas
Kedokteran UI?”
“Ya
yakinlah Nduk, tak ada sesuatu pun yang lebih hebat dibandingkan dengan
keyakinan yang telah ditanamkan seseorang dalam kehidupannya. Perkataan adalah
doa, dan semoga doa-doa kamu itu terkabul seiring dengan doa Mamak yang tiada
pernah terputus untukmu.”
Aku berani bersumpah Mak, malam ini
dengan disaksikan jutaan bintang aku bersumpah jika lulus SMA nanti aku akan
pergi ke Jakarta. Aku akan mewujudkan mimpiku dan tak akan pulang sebelum mimpi
itu terwujud.”
19
Mei 2004
Aku gugup, jantungku tak
henti-hentinya bergetar. Pikiranku melayang-layang di atas awan. Hatiku tak
tenang, duduk pun tak nyaman. Beribu-ribu perasaan tak menentu mengetuk bahkan
menghentak-hentak hatiku. Aku was-was menunggu pengumuman hasil ujian. Semoga
semua seperti yang kuharapkan.
“Casava Textona?”
Bapak Kepala Sekolah memanggil
namaku. Pelan-pelan aku mulai berdiri. Kakiku lemas seperti terjangkit polio.
Aku mencoba menghela napas, mengumpulkan keberanianku dan kekuatanku. Kaki kualunkan
ke arah podium untuk mengambil amplop hasil pengumuman.
Perlahan-lahan kurobek sisi kanan
amplop. Sebuah surat tersembul di dalamnya. Kubuka surat itu. Achhh..hatiku
bagai meledak dibuatnya. Alhamdulillah…..ternyata, aku lulus dengan nilai
memuaskan.
25 Mei 2005
“Mak
lihat Mak! Aku bawa apa? Aku bawa surat Mak, surat dari Jakarta, dari UI Mak.”
“Mak aku lulus tes masuk di Fakultas
Kedokteran Mak, aku juga dapat beasiswa.”
“Bersyukurlah Allah telah
mengabulkan jalan bagimu untuk meraih cita-cita.” Mamak mengingatkanku agar
tidak lupa mensyukuri kebahagiaan ini.
“Cepat kamu bereskan semua, apa saja
yang akan kamu bawa ke Jakarta.”
“Mak pendaftaran masih sebulan lagi,
kenapa Mamak menyuruhku cepat-cepat pergi ke Jakarta? Ada apa Mak? Kenapa Mamak
tidak seperti biasa?”
“Pokoknya dalam dua atau tiga hari
ini kamu sudah harus pergi ke Jakarta. Alhamdulillah
Bapakmu pergi ke sawah jadi Bapak tidak tahu tentang hal ini. Mamak minta
rahasiakan berita ini dari Bapak dan Mbah Utimu. Mamak tidak ingin kamu….?” Tiba-tiba Mamak menghentikan perkataannya.
“Mak, sebenarnya ada apa? Apa yang
terjadi Mak?” Tanyaku menyelidik.
“Nduk, sebenarnya selama ini Bapak
sama Mbah Utimu telah merencanakan tentang pernikahanmu.”
“Nduk, Bapak dan Mbah Uti sudah mencarikan
jodoh untukmu, dan Mamak juga baru tahu kemarin. Mamak kaget setengah mati,
Mamak tidak terima Nduk, dan Bapak sama
Mbah Uti marah-marah sama Mamak. Kalau sampai mereka tahu kamu pergi ke Jakarta
pasti mereka tidak akan pernah mengizinkan. Mereka pasti mencegahmu Nduk.”
Wajah Mamak terlihat begitu serius dan cemas.
“Jadi aku dipaksa menikah Mak? Aku
tidak mau Mak. Aku harus menggapai cita-citaku dulu baru menikah.” Jelasku pada
Mamak agar Mamak tidak terlalu memikirkan masalah ini.
Bapak dan Mbah Uti memang
menginginkan aku menikah muda, supaya aku cepat punya anak. Mereka merasa kalau
aku sudah berkeluarga, maka kewajiban Bapak terhadapku sudah selesai. Namun
yang menjadi persoalannya sekarang adalah aku masih remaja, masih terlalu muda
untuk menjalin rumah tangga dengan seseorang. Aku belum siap untuk mengurus
suami dan anak-anak. Dan yang paling penting adalah aku masih ingin kuliah dan
aku sudah memiliki rencana-rencana untuk masa depan dan kebahagiaan kedua orang
tuaku.
27
Mei 2005
Hari ini semua urusan sudah beres.
Tiket bus sudah di tangan. Jam 10.00 nanti aku akan ke terminal.
Sebelum berangkat aku bantu-bantu
Mamak di dapur. Selepas mandi aku memakai blus ungu lengan panjang dan jeans
warna putih, kupilih jilbab ungu. Tiba-tiba aku mendengar Bapak terbatuk-batuk
di halaman. Ah…, celaka, ternyata Bapak pulang lebih awal, padahal selama ini
Bapak selalu pulang sore. Bapak biasanya selalu betah berlama-lama di sawah.
Jika Bapak sampai tahu rencana kepergianku ke Jakarta, maka semuanya akan berantakan.
Ternyata Bapak marah besar, Bapak
merasa dibohongi. Bapak sekarang tahu semuanya. Dari mana Bapak tahu? Ah,
darimana Bapak tahu itu tidak penting,
yang terpenting sekarang adalah masa depanku dan Mamak.
Aku tidak tega melihat Mamak dimaki-maki oleh Bapak.
Aku tidak tahan melihat Mamak menjadi pelampiasan kemarahan Bapak. Aku berlari
ke halaman dan mendekati Mamak. Mamak menagis sesenggukan.
“Nduk cepat berangkat, tinggalkan Mamak sendiri,
Mamak tidak apa-apa kok. Kamu harus mengejar mimpimu Nduk. Ayo Nduk, cepat
pergi, Mamak tidak apa-apa kok.”
“Nduk kamu tidak boleh berangkat, karena
pernikahanmu dengan Hastomo tinggal beberapa hari lagi!.” Bapak membentakku.
“Pernikahan itu tidak boleh batal, mau ditaruh di
mana muka Bapak jika kamu tidak jadi menikah dengan Hastomo?” Tiba-tiba Bapak
kembali membentakku.
“Maaf Pak, Sava masih pengen sekolah dulu Pak, Sava
ingin mewujudkan cita-cita Sava Pak.”
“Pak Sava bukan Siti Nurbaya, bila waktunya nanti
tiba Sava pasti dapat jodoh Pak, tidak perlu dijodoh-jodohkan seperti ini.”
Protesku pada Bapak.
“Nduk pokoknya tidak boleh. Pokoknya kamu tetap
harus menikah dengan Hastomo. Kamu tahu kenapa Bapak memilih Hastomo? Karena
Bapak merasa semua syarat sebagai suami yang baik itu terdapat dalam diri
Hastomo.”
“Dia kaya Nduk, sawahnya berhektar-hektar, rumahnya
gedongan, kendaraannya berjejer-jejer, kamu pasti bahagia Nduk jika menikah
dengan Hastomo.” Kata Bapak berusaha meyakinkanku agar mau menikah dengan
lelaki pilihannya.
“Aku tidak setuju, sebagai Mamaknya aku tidak rela
kalau anak gadisku menikah dengan Hastomo, si lelaki kaya raya tetapi mempunyai
banyak istri. Anakku harus kuliah Pak!” Mamak menyerobot perkataan Bapak.
“Cepat Nduk ambil tasmu dan pergilah ke Jakarta
jangan pedulikan Bapak, raih cita-citamu Nduk.” Mamak mendorongku agar cepat-cepat
pergi ke Jakarta.
“Wo….sontoloyo…..! istri tak tahu diri. Mamak
sama anak sama saja.” Bapak mendekatiku dan meraih pergelangan tanganku lalu
menyeretku ke dalam kamar. Bapak pun mengurungku di dalam kamar.
Aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus bertindak dan
berbuat sesuatu karena ini menyangkut masa depanku. Aku tidak mau mimpi-mimpiku
terkubur begitu saja.
Kuangkat sebuah kursi dan kudekatkan dengan jendela.
Dengan mengendap-endap aku berusaha kabur dari rumah dengan melompat jendela
kamar. Sebelum aku pergi aku menyempatkan menulis sepucuk surat untuk Mamak dan
kutinggalkan di meja kamar. Selamat tinggal Bapak, Mamak dan Eyang Uti jika aku
sukses nanti maka aku akan kembali. Dan tanpa terasa peluh dan air mataku mengalir
di pipi seiring aku melangkah meninggalkan rumah.
Malam ini aku memandang langit, hitam dan seperti
tidak ada kehidupan, hampa dan mati. Meskipun terpekur sendiri tetapi aku tidak
pernah takut dalam kesendirian. Justru aku merasa ketakutanku adalah
kekuatanku. Saat aku melihat lebih jauh lagi tentang masa depan dan hakikat
hidup ini, jalan terasa lapang dan mudah.
Aku tidur dengan hati tenang tanpa rasa cemas. Aku
yakin aku bisa bertahan. Akan kubuktikan pada dunia, aku Casava Textona akan
meraih mimpiku meskipun harus melalui perjuangan panjang dan berliku untuk
melewati penderitaan yang tak ringan.
29
Mei 2005
Pagi menjelang menghembuskan
napas-napasnya. Aku memulai pengembaraanku ke café-café, restoran, toko,
pabrik, semuanya aku datangi. Aku mengajukan diri berniat untuk mencari
pekerjaan. Namun semua menolakku. Meskipun demikian aku tidak akan menyerah.
Aku harus kuat seperti jati, karena aku adalah Textona.
Sabar dan tabah adalah senjataku.
Kemenangan dalam medan pertempuran ini hanya milik orang-orang teguh, ulet, dan tak kenal takut, serta
pantang menyerah pada semua rintangan yang menghadang. Aku harus nekat. Meminta
belas kasihan itu adalah mental pecundang, dan aku tidak akan pernah meminta
belas kasihan. Aku harus berjuang untuk bertahan hidup di ibu kota.
Tak ada yang dapat kuperbuat.
Berkali-kali aku melamar kerja dan berkali-kali pula aku ditolak. Namun tak ada
yang perlu kurisaukan, aku bisa memulung untuk mencukupi kebutuhanku. Aku tidak
perlu malu, karena ini adalah pekerjaan halal.
Hari ini aku mulai mengais-ngais
rezeki dari sampah-sampah yang berceceran. Sampah-sampah itu sekarang menjadi
penyambung napasku.
Akan kubuktikan Casava Textona
pemulung yang kelak menjadi dokter. Aku harus bersabar, sebentar lagi kuliah
dimulai. Aku pasti akan disibukkan dengan mata kuliah dan pekerjaan baruku.
10
Oktober 2010
Empat setengah tahun sudah aku
menekuni profesiku sebagai pemulung dan sebagai mahasiswa kedokteran UI.
Kulitku yang dulu putih mulus kini hitam legam terbakar matahari. Setiap hari
aku disibukkan dengan rutinitas, pagi kuliah dan siang atau sore hari memulung
sampah.
Kini aku telah menyelesaikan tugas
akhir di Fakultas. Dan Alhamdulillah akhir tahun ini aku akan diwisuda.
Impianku yang dulu jauh dari kenyataan kini dapat kuraih. Mamak, Bapak Sava
akan pulang. Sava bisa meraih bintang Mak, Pak. Dan semua jerih payahku selama
ini kupersembahkan untuk Bapak dan Mamak.
pak di cerpen ini terdapat tanggal tangal untuk membagi cerpen menjadi beberapa bab.
ReplyDeleteApakah artinya sebuah diary bisa dijadikan cerpen. . . . ?
diary dijadikan cerpen?, wah buisa buanget donG....!!!!!
Deletecerita pada cerpen ini cukup menarik , majas yang digunakan juga cukup mengindahkan.. tapi menurut saya cerpen ini butuh sedikit klimaks , coz, blum smpe hati syaa :) terimakasih ...
ReplyDeletemasukan yg bgs mbk dyah
Delete