Griya SOLOPOS
|
|
Griya SOLOPOS Lt. 1 & 2
Jl. Adisucipto 190 Solo
Telp. : +62 271 724811
Faks : +62 271 724833
redaksi@solopos.net
pusdok@solopos.net
|
|
|
|
|
|
Edisi : Jum'at, 09 April 2010 , Hal.4
|
|
|
|
Kenyataan pahit
|
|
Kubasuh mukaku dengan air yang terasa sejuk menembus pori-pori kulit. Rasa kantuk dan mata yang terasa berat pelan-pelan mulai sirna. Kedua tangan yang tak pernah menolak keinginanku untuk berbuat apapun, menjadi terasa begitu ringan ketika butir-butir air mengguyur pelan. Mengalir dari ujung-ujung kuku sampai ke siku.
Kuusap lembut rambutku, mulai dari kening hingga ke belakang kepala. Pikiranku menjadi jernih, sejernih air yang membasahi beberapa helai rambut.
|
”Zal, sebentar lagi Salat Hajat dimulai, tapi kenapa anak-anak yang lain masih asyik bermain gitar?” Riko menyapaku dari belakang, menunggu giliran untuk wudu di keran air yang kugunakan.
”Ya Rik, biasalah mereka. Menunggu Pak Arif teriak-teriak dulu baru mau bubar.” Belum selesai dibicarakan, sudah terdengar teriakan Pak Arif, menyuruh anak-anak untuk bersiap Salat Hajat. Semua bubar dan berlarian menuju tempat wudu.
Kulangkahkan kaki di lantai putih musala sekolah. Desir-desir lembut angin dini hari membawa hawa dingin menembus ke tulang-tulang. Kulirik jam yang menempel di dinding, dua jarum hitamnya kompak menunjuk di angka satu.
Aku dan beberapa teman kelas XII yang lain, bersiap-siap melakukan Salat Hajat. Tujuan kami sama, berdoa mengharap kemudahan dalam ujian yang akan berlangsung beberapa hari lagi. Tak harus dapat nilai yang sempurna, setidaknya mendapatkan kelulusan sudahlah memuaskan hati kami.
Salat Hajat dimulai secara berjamaah. Pak Arif memimpin kami sebagai imam. Ya, salat sunah namun dilakukan berjamaah. Aku tak mempermasalahkan itu, toh Salat Tarawih ketika Ramadan juga dilakukan secara berjamaah. Yang penting niatnya, pikirku.
Rakaat demi rakaat kami lakukan sekhusyuk mungkin, namun hatiku bergemuruh. ”Diterimakah salat dan doa-doaku?”
Pikiranku dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. ”Ya Allah, sementara salat wajib yang seharusnya tak boleh terlewatkan kadang masih sering aku lupakan.”
”Ya Allah, pantaskah aku berdoa dalam sunahmu, sementara aku meninggalkan kewajibanku?” detak-detak jantungku terdengar begitu kencang.
Salat Hajat selesai, ditutup dengan Salat Witir, dilanjutkan dengan wirid dan doa-doa. Pikiran tentang doa dan salatku sejenak hilang, berganti dengan Ujian Nasional yang sudah di depan mata. Terus terang kali ini aku merasa takut, takut jika tidak lulus.
Kutengadahkan tangan dan kupejamkan mata. Tiba-tiba wajah Emak terlihat di pelupuk mata. Guratan-guratan wajah Emak yang mulai keriput, memandangku dengan matanya yang sayu.
Kulanjutkan doaku masih dengan mata terpejam. Wajah Emak masih terlihat, tak mau pergi. Air mataku menitik. Dalam doa aku tenggelam, terhanyut pada kisah-kisah perjuangan Emak.
Demi membiayai sekolahku, Emak rela tiap hari berendam di air sungai yang dingin. Mencari sejumput pasir dan mengumpulkannya dengan penuh semangat.
Air mataku semakin deras menetes dalam butir-butir doa. Dadaku seperti dipukul keras dan terasa sesak melihat ujung-ujung jari Emak yang keriput kebiruan karena hampir seharian berendam di sungai. Emak tak pernah meminta apapun dariku. Kututup untaian doa dengan harapan semoga lulus dalam ujian nanti. Semua itu demi Emak, ya hanya demi Emak. Perjuangan Emak harus dibalas dengan kelulusanku.
***
Hari yang dinanti telah tiba. Semua anak berkumpul di sekolah bersama orangtua masing-masing.
Emak duduk di sampingku, menunggu giliran mendapatkan kertas hasil kelulusanku. Bibirnya tak pernah berhenti membisikkan rangkaian doa.
Hatiku berdebar-debar, begitupun Emak. Apalagi dalam sambutan awal, kepala sekolah menyatakan bahwa akan ada satu anak yang tidak lulus.
Satu-persatu anak dipanggil. Begitu membuka kertas hasil kelulusan, mereka meloncat, berjingkrank kegirangan.
”Ya Allah semoga aku termasuk bagian dari anak yang senang karena kelulusan itu, ya Allah aku tidak ingin mengecewakan Emak.”
Hampir separuh anak mendapatkan hasil kelulusannya dan semua dinyatakan lulus. Aku dan Emak masih menunggu dengan resah, diselimuti rasa was-was yang luar biasa.
Namaku akhirnya dipanggil. Tanganku bergetar, telapaknya membasah ketika menerima hasil kelulusan yang masih tersimpan dalam selembar amplop kecil.
Aku mendekat di samping Emak. Pelan-pelan aku mulai membuka amplop putih yang dari tadi kugenggam. Kupandangi wajah Emak yang masih terlihat tegang dan gugup.
Dalam amplop kecil itu masih ada selembar kertas yang dilipat. ”Bismillahirrahmanirrahim.” Kupejamkan mata dan pelan-pelan kubuka lipatan kertas putih itu.
Dadaku bergetar sangat kencang. Kubuka mata dan kubaca tulisan kecil-kecil yang ada di dalamnya.
”Ya Allah, aku tidak lulus.” Seketika kakiku terasa lemas. Jantungku seperti berhenti berdetak. Dunia bagaikan runtuh menimpaku, hingga membuatku hancur berkeping-keping.
Aku lihat Emak menangis. Butir-butir air matanya menetes di pipi.
***
”Zal, bangun Nak.” Aku terbangun begitu mendengar suara lembut Emak. Azan Subuh menggema, bersahut-sahutan dari masjid di kampung sebelah.
”Ya Allah ternyata ini hanya mimpi.” Subhanallah, ternyata masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya, sebelum menjadi benar-benar sangat terlambat.” ::Ahmad Efendi::
|
|
|
0 comments:
Post a Comment