Ahmad Efendi (fensas) |
GEJALA
HIPERKOREK
Oleh
AHMAD EFENDI,
S. Pd.
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
SMA Negeri 1 Girimarto
Belum lama ini umat
Islam di seluruh dunia merayakan Idul Fitri 1433 H. Hari besar umat Islam itu
dirayakan dengan penuh suka cita setelah sebelumnya menjalankan ibadah puasa
selama satu bulan penuh. Di Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas
muslim para penutur bahasa sering menggunakan kata serapan dari bahasa Arab dalam
percakapan sehari-hari.
Di televisi dan media-media yang
lain hampir setiap hari (selama bulan puasa) kita melihat tulisan “Selamat
Menjalankan Ibadah Puasa Ramadan 1433 H.” Yang menarik adalah kata “Ramadan” sering kali ditulis berbeda-beda, antara lain:
Romadon, Romadhon, dan Ramadhan. Dari beberapa bentuk penulisan kata tersebut
yang benar (baku) adalah “Ramadan”.
Penulisan kata serapan yang beraneka
ragam tersebut disebabkan karena proses pembetulan suatu kata yang berusaha
dibenarkan sesuai dengan kata dari bahasa aslinya (bahasa yang diserap) yang
akhirnya justru menjadi salah dan tidak baku. Proses pembetulan kata yang sudah
betul akhirnya justru menjadi salah ini disebut dengan gejala hiperkorek.
Gejala hiperkorek dari kata serapan bahasa Arab, juga sering ditemui pada
penulisan kata Jum’at, adzan, astagfirulloh,
da’i, hadist, shalat, sholat, dan lain-lain. Beberapa penulisan kata
tersebut tidak baku dan penulisan yang benar adalah: Jumat, azan, astagfirullah, dai, hadis, dan salat.
Dari beberapa kesalahan tersebut,
maka sebaiknya dalam menulis kata serapan kita harus berpedoman pada kosa kata
baku yang telah ditetapkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
No comments:
Post a Comment