Sunday, January 8, 2012

GAWAT TARIF TELPON DAN SMS NAIK 40 KALI LIPAT?

Ilustrasi gbr: nokia.co.id



Jakarta - Harga lisensi dan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi telekomunikasi di Indonesia diklaim terlalu murah dibanding negara lain. Indonesia pun dinilai berpotensi kehilangan pendapatan negara hampir Rp 350 triliun.

Asumsi tersebut diutarakan oleh Center for Indonesian Telecommunications Regulation Study (Citrus). Tak pelak, pendapat itu langsung dibantah oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

BRTI menilai kebijakan untuk menahan harga frekuensi agar tak terlalu tinggi adalah wajar. Sebab, biaya frekuensi yang terlalu tinggi akan membebani industri, menghambat pengembangan layanan, dan menyebabkan tarif telekomunikasi yang diterima masyarakat jadi mahal.

"Jika mengikuti hitungan Citrus, dimana BHP frekuensi harus naik sekitar 40 kali lipat dari sekarang, maka semua kenaikan akan ditransfer ke konsumen," jelas anggota BRTI Heru Sutadi kepada detikINET, di Jakarta, Kamis (5/1/2012).


Sebelumnya, Direktur Citrus Asmiati Rasyid memaparkan bahwa pemerintah telah menjual spektrum frekuensi dengan harga yang terlalu murah dan berpotensi menyebabkan kerugian cukup besar bagi pendapatan negara.

Dalam paparannya, lembaga ini membandingkan harga per blok frekuensi 3G di Indonesia dengan India, dimana harga satu blok di Indonesia hanya Rp 160 miliar, sedangkan di India dihargai Rp 31,14 triliun. Citrus pun mengusulkan harga satu blok 3G di Indonesia dinaikkan jadi Rp 5 triliun.

Anggota BRTI M Ridwan Effendi mengaku heran dan mempertanyakan hasil studi tersebut yang dinilainya tidak relevan dan kurang teliti. Sebab, kata dia, perbandingan yang dilakukan tidak "apple to apple".

"Di India hanya sekali bayar di depan. Sementara di kita kan bayarnya annually alias tahunan selama 10 tahun, ya wajar saja kalau ada anggapan lebih mahal atau lebih murah," kata dia.

Lebih jauh ia memaparkan, di India, total spektrum 3G harganya USD 3 miliar atau Rp 27 triliun sekali bayar di depan. Sedangkan di Indonesia, untuk 10 kanal 3G, harganya sekitar Rp 35,2 triliun untuk waktu pakai 20 tahun dengan sekali perpanjangan.

"Itu belum termasuk dua kanal lagi yang akan dilelang. Belum termasuk faktor BI rate dan index populasi. Akan jadi lebih mahal ternyata. Tapi kalau ditotal keseluruhan, kira-kira imbanglah, antara yang dibayar tahunan dengan yang sekali bayar jika dilihat dari net present value-nya," papar Ridwan.

Sementara menurut Heru Sutadi, jika pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan pungutan tarif dan biaya frekuensi seperti di India, maka dampaknya akan sangat terasa bagi masyarakat.

"Tarif telepon yang rata-rata Rp 600 per menit akan naik jadi Rp 24.000 per menit. SMS dari rata-rata Rp 150 akan jadi Rp 6.000. Dan layanan data yang saat ini rata-rata Rp 100 ribu per bulan akan jadi Rp 4 juta per bulan," kata dia.

Selain itu, kenaikan biaya frekuensi juga akan berimbas pada target lain yang dicanangkan pemerintah. "Dampaknya besar, target MP3EI tidak tercapai. komitmen WSIS tidak tercapai. Bahkan telko dan internet jadi elitis. Tidak lagi jadi enabler pembangunan karena sudah tidak terjangkau oleh masyarakat," sesalnya.


Sumber: detikinet

No comments:

Post a Comment