Ilustrasi gbr: nokia.co.id |
Jakarta - Harga lisensi dan biaya hak penggunaan (BHP)
frekuensi telekomunikasi di Indonesia diklaim terlalu murah dibanding negara
lain. Indonesia pun dinilai berpotensi kehilangan pendapatan negara hampir Rp
350 triliun.
Asumsi tersebut diutarakan oleh Center for Indonesian
Telecommunications Regulation Study (Citrus). Tak pelak, pendapat itu langsung
dibantah oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
BRTI menilai kebijakan untuk menahan harga frekuensi agar
tak terlalu tinggi adalah wajar. Sebab, biaya frekuensi yang terlalu tinggi
akan membebani industri, menghambat pengembangan layanan, dan menyebabkan tarif
telekomunikasi yang diterima masyarakat jadi mahal.
"Jika mengikuti hitungan Citrus, dimana BHP frekuensi
harus naik sekitar 40 kali lipat dari sekarang, maka semua kenaikan akan
ditransfer ke konsumen," jelas anggota BRTI Heru Sutadi kepada detikINET,
di Jakarta, Kamis (5/1/2012).
Sebelumnya, Direktur Citrus Asmiati Rasyid memaparkan bahwa
pemerintah telah menjual spektrum frekuensi dengan harga yang terlalu murah dan
berpotensi menyebabkan kerugian cukup besar bagi pendapatan negara.
Dalam paparannya, lembaga ini membandingkan harga per blok
frekuensi 3G di Indonesia dengan India, dimana harga satu blok di Indonesia
hanya Rp 160 miliar, sedangkan di India dihargai Rp 31,14 triliun. Citrus pun
mengusulkan harga satu blok 3G di Indonesia dinaikkan jadi Rp 5 triliun.
Anggota BRTI M Ridwan Effendi mengaku heran dan
mempertanyakan hasil studi tersebut yang dinilainya tidak relevan dan kurang
teliti. Sebab, kata dia, perbandingan yang dilakukan tidak "apple to
apple".
"Di India hanya sekali bayar di depan. Sementara di
kita kan bayarnya annually alias tahunan selama 10 tahun, ya wajar saja kalau
ada anggapan lebih mahal atau lebih murah," kata dia.
Lebih jauh ia memaparkan, di India, total spektrum 3G
harganya USD 3 miliar atau Rp 27 triliun sekali bayar di depan. Sedangkan di
Indonesia, untuk 10 kanal 3G, harganya sekitar Rp 35,2 triliun untuk waktu
pakai 20 tahun dengan sekali perpanjangan.
"Itu belum termasuk dua kanal lagi yang akan dilelang.
Belum termasuk faktor BI rate dan index populasi. Akan jadi lebih mahal
ternyata. Tapi kalau ditotal keseluruhan, kira-kira imbanglah, antara yang
dibayar tahunan dengan yang sekali bayar jika dilihat dari net present
value-nya," papar Ridwan.
Sementara menurut Heru Sutadi, jika pemerintah Indonesia
menerapkan kebijakan pungutan tarif dan biaya frekuensi seperti di India, maka
dampaknya akan sangat terasa bagi masyarakat.
"Tarif telepon yang rata-rata Rp 600 per menit akan
naik jadi Rp 24.000 per menit. SMS dari rata-rata Rp 150 akan jadi Rp 6.000.
Dan layanan data yang saat ini rata-rata Rp 100 ribu per bulan akan jadi Rp 4
juta per bulan," kata dia.
Selain itu, kenaikan biaya frekuensi juga akan berimbas pada
target lain yang dicanangkan pemerintah. "Dampaknya besar, target MP3EI
tidak tercapai. komitmen WSIS tidak tercapai. Bahkan telko dan internet jadi
elitis. Tidak lagi jadi enabler pembangunan karena sudah tidak terjangkau oleh
masyarakat," sesalnya.
Sumber: detikinet
No comments:
Post a Comment